Jakarta banjir, Palangkaraya dinilai cocok jadi Ibu Kota


Jakarta banjir, Palangkaraya dinilai cocok jadi Ibu Kota
banjir bundaran hi. ©2013 Merdeka.com/Kota Jakarta yang sering kali dilanda banjir, macet dan polusi dinilai sudah tidak layak menjadi sebuah kawasan Ibu Kota. Bahkan para ahli di bidang kebumian telah menemukan sesar aktif yang sewaktu-waktu dapat meluluh lantahkan Ibu Kota dengan gempa berkekuatan besar.

Politisi asal PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari berpendapat, atas persoalan yang sangat kompleks terjadi di Jakarta itu. Ada baiknya pusat ibu kota dipisahkan dari pusat bisnis.

"Jakarta sudah mentok, fungsi pusat pemerintahan mulai terganggu karena perkembangan sebagai pusat bisnis berkembang amat cepat. Banjir kali ini kan hanya menguatkan argumen-argumen lain seperti macet, polusi dan sampah," jelas Eva kepada merdeka.com, Kamis (17/1).

Anggota Komisi III ini berpandangan, ada baiknya jika pusat pemerintahan dipindah ke Palangkaraya, seperti wacana yang diutarakan Presiden RI pertama Soekarno dahulu.

"Ide itu saya setuju, ke Palangkaraya lah yang paling fleksible.

Eva menjelaskan, kota Palangkaraya adalah tempat yang cocok untuk jika dijadikan pusat pemerintahan. Sebab, lanjut dia, di Palangkaraya tidak berpotensi terjadi gempa tektonik. Selain itu, kekayaan alam di Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah itu sangat banyak dan mendukung.

"Palangkaraya paling stabil, tidak akan ada gempa tektonik maupun vulkanik, tanah kosong masih luas, kekayaan alamnya mendukung," imbuhnya.

sumber : merdeka.com

Ar-Razi


BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Filsafat itu menyelidiki, membahas, serta memikirkan seluruh alam kenyataan dan menyelidiki bagaimana hubungan kenyataan satu dengan yang lain, jadi ia memandang satu kesatuan yang belum dipecah-pecah serta pembahasannya secara keseluruhan, sedangkan ilmu lain itu hanya menyelidiki sebagian saja dari alam maujud ini.
Ketika mempelajari filsaat islam kita juga akan mempelajari tokoh filosof muslim beserta pemikirannya.
Dan makalah ini kita akan membahas salah satu dari filosof muslim yakni Ar-Razi beserta karya-karyanya dan cara berfilsafatnya.

1.2     Rumusan Masalah
Setiap penelitian pada awalnya karena adanya masalah. Maslah penelitian timbul karena adanya tantangan, kesangsian, atau kebingungan terhadap sesuatu hal atau permaslahan.
Penyusunan makalah ini berusaha menjawab pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana riwayat hidup Ar-Razi?
2.       Apa sajakah karya-karya Ar-Razi?
3.       Bagaimana cara Ar-Razi berfilsafat?







1.3     Tujuan dan Kegunaan
1.      Tujuan:
Seperti yang tersirat pada rumusan masalah diatas, makalah ini bertujuan untuk:
a.       Mengetahui riwayat hidup Ar-Razi.
b.      Mengetahui apa saja karya-karya Ar-Razi.
c.       Mengetahui bagaimana cara Ar-Razi berfilsafat.

2.      Kegunaan:
Diharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi:
1.      Mahasiswa/i, hasil makalah ini bisa menjadi masukan  dan pengetahuan serta menambah wawasan bagi mahasiswa/i dalam memahami dan mempelajari Filsafat Umum.
2.      Khazanah Ilmu pengetahuan, hasil makalah ini diharapkan bisa menjadi sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

1.4     Metode Penyusunan
Landasan penulis dalam memperoleh kesimpulan yang diharapkan diperlukan metode yang tepat dalam penyusunan makalah. Metode yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah studi pustaka, yaitu “suatu usaha pengumpulan data dan informasi dengan satuan bermacam-macam material yang terdapat diruang perpustakaan dan media internet.”.
Tentunya dengan harapan bahwa pengumpulan data melalui studi pustaka yang penulis gunakan dapat memperoleh teori-teori atau pendapat para filsuf tentang Ar-Razi.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Biografi Ar-Razi
Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria Ibn Yahya  al-Razi atau  akrab disapa dengan nama Al-Razi, dilahirkan dan di besarkan di daerah Rayy (suatu daerah dekat Taheran persia) dan sekaligus tempat dimana dia meninggal. Ia di lahirkan  pada tanggal 1 sya’ban 251  H/865 M, pada zaman kejayaan Abbasiyah dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 7 Oktober 925 M.
Pada masa mudanya ia pernah menjadi tukang intan, penukar uang, dan pemain kecapi. Kemudian, ia menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu kimia dan meninggalkannya setelah matanya terserang penyakit akibat eksperimen-eksperimen yang dilakukannya. Setelah itu ia beralih dan mendalami ilmu kedokteran dan filsafat.[1]
Ia belajar ilmu kedokteran dan ilmu hikmah pada pada Al-Balkhi. Ar-Razi juga banyak menimba ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya dari Abu Al-Husen Ali bin Rin Ath-Thabari. Ia pindah ke Baghdad dan menjabat sebagai ketua rumah sakit Al-Adhudi.[2] Pada umumnya ia terkenal, seperti yang dikatakan sendiri oleh seorang ahli, sebagai “dokter Islam yang tidak ada bandingannya”. [3] Philip Hitti adalah seorang ilmuan  yang pernah memberikan komentar  kepada al-Razi dalam “History of The Arab”; bahwa al-Razi adalah seorang dokter  yang paling besar  dan paling orisinal dari seluruh dokter muslim  dan juga seorang penulis yang produktif. Selain sebagai ahli dalam ilmu kedokteran Al-Razi memiliki cara berfikir dan pendapat yang berlainan  dengan filusuf-filusuf Islam lainnya, dan perbedaaan yang paling ekstrim yang dimiliki Al-Razi adalah tidak mengakui adanya wahyu dan adanya nabi. Dengan  tidak mengakui sumber-sumber pengetahuan lain seperti wahyu dan adanya nabi maka tidak heran kalau karya-karyanya lebih banyak mendapat kecaman dari pada dipelajari oleh filusuf-filusuf islam yang lain.[4]
Ar-Razi terkenal di Barat dengan nama Rhezes dari buku-bukunya tentang ilmu kedoteran. Bukunya yang terkenal adalah tentang cacar dan campak yang diterjemahkan dalam bebagai bahasa di Eropa dan pada tahun 1866 masih dicetak untuk yang keempat puluh kalinya.  Al-Hawi  merupakan ensiklopedia tentang ilmu kedokteran, tersusun lebih dari 20 jilid dan mengandung ilmu kedokteran Yunani, Syria, dan Arab.[5]
Selain ahli dalam ilmu kedokteran, Ar-Razi adalah seorang mufassirin (ahli tafsir) dan ahli fiqh, seorang teolog Islam dan filosof. Ar-Razi merupakan filosof Timur yang pertama pada abad ke 6 H. Ia begitu serius menggeluti filsafat, mempelajari logika, masalah-masalah alam (kosmologi) dan metafisika. Ia berguru pada Ibnu Sina, dan mengomentari sebagian buku Ibnu Sina. Ar-Razi berusaha memadukan agama dengan filsafat, dan mencampur filsafat dengan ilmu kalam (teologi Islam). Dalam al-Mahsal, ia menempuh langkah tertentu dalam mengklasifikasikan dan mensisitematiskan problematika teologis, yang kemudian langkah ini diikuti oleh generasi sesudahnya, khususnya al-Iji dalam buku al-Muwaqif.[6]

2.2      Karya-Karya Ar-Razi
Sebagai seorang filosof, Ar-Razi banyak mengarang buku fisika di bidang ilmu filsafat dan bidang ilmiah. Karya ilmiah dan filsafat  ar-Razi tampaknya sabgat banyak. Ia sendiri mengaku dalam sebuah karya autobiografis bahwa ia telah menyusun tidak kurang dari 200 karya.[7]
Ar-Razi banyak menulis kitab yang temanya sangat bervariatif, meliputi ilmu logika, metafisika, ketuhanan, psikologi, fisika, geografi, optik, kimia, kedokteran, anatomi, kedokteran mata, geometri, musik, dan politik.
Diantara kitabnya yang membahas tentang kedokteran diantaranya adalah:
1.      Al-Hawi, kitab ini merupakan karyanya yang paling agung dan penting di bidang kedokteran.
2.      Al-Manshuri, yaitu kitab ringkas yang memuat sepuluh artikel tentang kedokteran, pembedahan, pengobatan, makanan, minuman, serta pengobatan luka-luka.
3.       Tibb Al-Fuqara,
4.       Al-Falij (Lumpuh),
5.       Al-Adwiyah (obat-obatan),
6.      Kitab tentang mata, hati, jantung, dan persendian.[8]

Selain kitab-kitab kedokteran, Ar-Razi juga memiliki karya-karya diberbagai bidang, diantaranya:
1.      Sekumpulan risalah logika berkenaan dengan kategori-kategori, demonstrasi, isagoge dengan logika, seperti yang dinyatakan dalam ungkapan kalam Islam.
2.      Sekumpulan risalah tentang metafisika pada umumnya.
3.      Materi mutlak dan particular.
4.      Plenum dan vacum, ruang dan waktu.
5.      Fisika.
6.      Bahwa dunia mempunyai pencipta yang bijaksana.
7.      Tentang keabadian dan ketidakabadian Tuhan.
8.      Sanggahan terhadap Proclus.
9.      Opini fisika “Plutarch” (Placita Philosophorum).
10.  Sebuah komentar tentang Timaeus.
11.  Sebuah komentar terhadap komentar Plutarch tentang Timeaus.
12.  Sebuah risalah yang menunjukan bahwa benda-benda bergerak dengan sendirinya dan bahwa gerakan itu pada hakikatnya adalah milik mereka.
13.  Obat pencahar rohani.
14.  Jalan filosofis.
15.  Tentang jiwa.
16.  Tentang perkataan imam yang tidak bisa salah.
17.  Sebuah sanggahan terhadap kaum Mu’tazilah.
18.  Metafisika menurut ajaran Plato.
19.  Metafisika menurut ajaran Skrates.[9]

2.3     Filsafat Ar-Razi

A.    Lima Kekal (Kadim)           
Filsafat Ar-Razi terkenal dengan ajarannya Lima yang Kekal, yakni:
1.      Al-Bari Ta’ala, Tuhan Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna.
2.      An-Nafsul- Kulliyah, Jiwa yang Universal yang hidup dari jasad ke jasad sampai suatu waktu menemukan kebebasan yang hakiki.
3.      Al-Hayulal-Ula, materi pertama yang dari padanya Tuhan menciptakan dunia. Materi ini terdiri dari atom-atom yang mempunyai volume. Atom-atom ini mengisi ruang sesuai dengan kepadatannya. Atom tanah adalah yang paling padat, kemudian menyusul air, hawa dan api.
4.       Al-Makanul-Mutlaq ( ruang yang absolute) abadi tanpa awal dan tanpa akhir. 
5.      Az-Zamanul-Mutlaq ( masa yang absolute) abadi tanpa awal dan tanpa akhir.[10]
Meburut Ar-Razi dua dari Lima yang Kekal itu hidup dan aktif: Allah dan roh. Satu diantaranya tidak hidup dan pasif, yakni materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pasif, yakni ruang dan masa.[11]

1.        Allah ( al-Bari ta’ala) Tuhan pencipta yang maha tinggi dan maha sempurna.

Allahlah yang menciptakan dan mengatur seluruh Alam, Allah menciptakan Alam bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada, karena itu alam semestinya  tidak kekal sekalipun materi pertama kekal  sebab penciptaan disini dalam arti disusun  dari bahan yang telah ada.[12]

2.        Roh (An-Nafsul kuliyyah)

Roh atau jiwa adalah merupakan sumber kekal yang kedua, hanya saja ia tidak seMaha dengan Tuhan, karena ia terbatas dan tentu saja dengan keterbatasannuya itu membutuhkan Tuhan. Hal itu terlihat ketika jiwa, tertarik dengan materi pertama yang juga kekal. Untuk memenuhi hal itu, Tuhan membantu jiwa dengan membentuk alam ini (termasuk manusia) melalui materi pertama dengan susunan yang kuat, sehingga jiwa dapat mencari kesenangan didalamnya. sekaligus melengkapinya dengan akal agar ia tidak memperturutkan hawa nafsu.

3.             Materi (Al-Hayulal  Ula) Apa yang ditangkap panca indra tentang benda.

ia adalah substansi yang kekal, terdiri dari atom-atom. Ia kekal dan nantinya akan menjadi bahan terbentuknya alam. Didalam prosesnya materi yang paling padat akan menjadi substansi bumi, yang lebih renggang dari pada unsur bumi akan menjadi air, yang  lebih renggang dari air akan menjadi udara, dan berikutnya api.

4.             Ruang (Al-Makanul Mutlaq)

Menurut al-Razi, ruag adalah tempat keberadaan materi, kalau materi dikatakan kekal maka dia membutuhkan ruang yang kekal pula.  Bagi al-razi ruang terbagi menjadi dua yakni ruang Universal (Mutlak) adalah ruang yang tidak terbatas dan tidak tergantung kepada dunia dan segala yang ada didalamnya. Sedangkan ruang tertentu (relatif) adalah sebaliknya.

5.             Waktu (Az-Zamanul Mutlaq)

Waktu menurut Ar Razi adalah subtansi kekal yang mengalir. Dimana ia dibagi manjadi dua yaitu   waktu relative (terbatas) dan waktu Universal (mutlak).  Waktu relatif (al mahsur/alwaqt), Ini bersifat partikular dan tidak kekal karena ia bergantung pada gerak falak, terbit dan tenggelamnya matahari. Sedangkan Waktu  Universal (al-dahr), Inilah zaman yang tidak memiliki awal dan akhir. Ia terlepas sama sekali dari ikatan alam semesta dan gerakan falak.

Harun Nasution  dalam bukunya “Falsafat dan Mistisme”  menjelaskan bahwa menurut al-Razi, dari lima yang kekal itu ada dua yang hidup, dan aktif atau bergerak  yaitu Tuhan dan Jiwa atau Roh,  satu darinya tidak hidup dan pasif yaitu materi, dan dua lagi yang tidak  hidup, tidak bergerak dan tidak pula pasif  yakni ruang dan waktu.[13]

Filsafat al-Razi sebenarnya diwarnai oleh doktrinnya tentang lima ajaran tentang kekekalan tersebut dan kelima hal inilah yang  merupakan landasan  ajaran Filsafat yang dibawa oleh al-Razi. Menurut Dr.T.J. De Beor bahwa dasar-dasar metafisika ar-razi berasal dari doktrin-doktrin tua seumpama pemikiran-pemikiran Anaxagoras, Empedokles, Mani dan lain-lainnya. Dan puncak dari metafisika itulah Prinsip tentang lima yang Abadi (Five Coenternal principles)[14].

B.     Akal, Kenabian, dan Wahyu
Harus diakui bahwa akal merupakan substansi sangat penting yang terdapat pada diri manusia sebagai cahaya (nur) dalam hati. Cahaya ini, menurut Ar-Razi, bersumber langsung dari Allah, sebagai utusan untuk menyadarkan manusia dari kebodohannya.[15]
Ar-Razi dikenal sebagai seorang rasionalis murni. Akal, menurutnya adalah karunia Allah yang terbesar untuk manusia. Dengan akal manusia dapat memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Allah. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya, tetapi harus memberikan kebebasan padanya dan harus merujuknya dalam segala hal.[16]

Harun Nasution, mengatakan bahwa Ar-Razi adalah filosof muslim yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sungguhpun ia bertentangan dengan paham yang dianut umat islam. Ia juga menyimpulkan dari gagasan-gagasan Ar-Razi tersebut, yakni:
·         Tidak percaya pada wahyu,
·         Al-qur’an bukan mukjizat,
·         Tidak percaya pada nabi-nabi,
·         Adanya hal-hal yang kekal selain dari Allah.[17]

Menurut Abdul Latif Muhammad Al-‘Abd bahwa tuduhan Ar-Razi tidak mempercayai kenabian adalah didasarkan pada buku Makhariq al-Nabiya’.[18] Buku ini sering dibaca dalam pengajian-pengajian kaum zindik, terutama Qaramithah. Bagian dari buku ini terdapat dalam buku A’lam al-Nubuwwah karya Abu Hatim al-Razi, yang tidak pernah ditemukan. Oleh karena itu, kebenarannya diragukan. Andaikan buku itu ada tentu saja tidak bertentangan dengan buku-buku Ar-Razi sendiri seperti al-Thibb al-Ruhani.
Dalam buku al-Thibb al-Ruhani tidak ditemukan keterangan bahwa Ar-Razi mengingkari kenabian atau agama, bahkan sebaliknya ia mewajibkan untuk menghormati agama dan berpegang teguh kepadanya agar mendapatkan kenikmatan di akhirat berupa surge dan mendapatkan keuntungan berupa ridho Allah.
Memang harus diakui bahwa Ar-Razi member perhatian dan kepercayaan yang cukup besar kepada akal. Indikasi ini dapat di dilihat bahwa ia menulis tentang akal pada bab tersendiri dalam bukunya al-Thibb al-Ruhani. Namun, tidak sampai ia meletakkan wahyu di bawah akal, apalagi tidak percaya pada wahyu.
Ar-Razi memang lebih terkenal sebagai ahli dalam ilmu kedokteran (sains) ketimbang ilmu spekulatif (filsafat). Oleh karena itu, dalam penjelasannya tentang akal berdasarkan semangat rasional empiris eksperimental, hal yang mengesankan ialah bahwa ia hanya percaya pada akal semata dan tidak lagi percaya kepada wahyu. Seperti telah dikemukakan bahwa kenyataan ini tidak ditemukan dalam tulisan-tulisannya.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak cukup bukti untukmembenarkan tuduhan terhadap Ar-Razi. Sebaliknya, penulis berkeyakinan bahwa ia adalah seorang intelektual muslim yang percaya kepada nabi dan wahyu.[19] 












BAB III
KESIMPULAN

Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria Ibn Yahya  al-Razi atau  akrab disapa dengan nama Al-Razi, dilahirkan dan di besarkan di daerah Rayy (suatu daerah dekat Taheran persia) dan sekaligus tempat dimana dia meninggal. Ia di lahirkan  pada tanggal 1 sya’ban 251  H/865 M, pada zaman kejayaan Abbasiyah dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 7 Oktober 925 M.
Diantara kitabnya yang membahas tentang kedokteran diantaranya adalah:
1.      Al-Hawi,
2.      Al-Manshuri,.
3.      Kitab Tibb Al-Fuqara,
4.      Kitab Al-Falij (Lumpuh),
5.      Kitab Al-Adwiyah (obat-obatan),

 Filsafat Ar-Razi terkenal dengan ajarannya Lima yang Kekal, yakni:
1.      Al-Bari Ta’ala (Allah),
2.      An-Nafsul- Kulliyah (Roh),
3.      Al-Hayulal-Ula (Materi),
6.       Al-Makanul-Mutlaq (Ruang),
7.      Az-Zamanul-Mutlaq (Waktu).
Filsafat al-Razi sebenarnya diwarnai oleh doktrinnya tentang lima ajaran tentang kekekalan tersebut dan kelima hal inilah yang  merupakan landasan  ajaran Filsafat yang dibawa oleh al-Razi.






[1]  Sirajuddin Zar.Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya.(Jakarta:PT. Raja Grafindo  Persada,2010).hlm.113-114 yang dikutip dari M.M.Syarif, The History of Muslim Philosophy hlm.434
[2]  Ibrahim Madkour. Aliran dan Teori Filsafat Islam.(Jakarta:Bumi Aksara.2004).hlm.106.
[3]  Sudarsono.Filsafat Islam.(Jakarta:Rineka Cipta.2004).hlm.54 yaqng dikutip dari Majid Fakhri ,Sejarah Filsafat Islam.hlm.150
[4]  Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat pengetahuan Islam,( Jakarta : UI Press,, 1985), Cet ke 1, hal .46
[5]  Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang), hlm.15
[6]   Ibrahim Madkour. Aliran dan Teori Filsafat Islam.(Jakarta:Bumi Aksara.2004). hlm 76
[7]  Sudarsono. Op.Cit..hlm. 54
[8]  Ibrahim Madkour Op.Cit,hlm.107.
[9]  Sudarsono Op.Cit..hlm. 55 yang dikutip dari Majid Fakhri. Sejarah Filsafat Islam,hlm.151-152
[10] Yusril Ali, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dalam Islam,Jakarta: Bumi Aksara, cet I, hal. 37
[11]  Sirajuddin Zar,Op.Cit,hlm,117 yang dikutip dari Harun Nasution,Filsafat dan Mistisme Dalam Islam
[12]  Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000) Cet ke 3, hal 111
[13]  HasyimSyah Nasution, Filsafat Islam,( Jakarta : Gaya Media Pratama , 1999), Hal 26
[14]  Yusril Ali, Perkembangan pemikiran Filsafat dalam Islam, (Jakarta : Bumi aksara), cet ke-1, hal 38
[15]  Sirajuddin Zar,Op.Cit,hlm,121 yang dikutip dari Ar-Razi, Al-Madhkal al-Saghir ila’ilm at-Thibb,dalam Abdul Latif Muhammad al-Abd, Sitt Rasa’il min al-Turats al-Araby,(Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah,1981),hlm,110
[16]  Ibid,hlm.121
[17]  Harun Nasution,Ibid,hlm,20-21
[18]  Sirajuddin Zar,Op.Cit,hlm,122  yang dikutip dari Abdul Latif Muhammad al-‘Abd,Ushul al-Fikr al-Falsafy’inda Abi Bakr Al-Razi,(Kairo: al-Mathba’ah al-Fanniyyah al-Hadisah,1977),hlm.270
[19]  Sirajuddin Zar,Ibid,hlm,123-125.