A. PENGERTIAN NASIKH
Secara
etimologi, nasikh mempuyai beberapa pengertian,
yaitu penghilangan (izalah),
penggantian (tabail), pengubahan (tahwil), dan pemindahan (naql). Sedangkan sesuatu yang
dihilangkan, digantikan, diubah, dan dipindahkan disebut mansukh. Sedangkan
dari segi terminologi “menghapuskan” adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus
dari seseorang mukallaf dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.
Menurut
Quraish Shihab bahwa ulama-ulama mutaqqadimmin dan muta’akhirin tidak sepakat dalam pengertian nasikh secara terminologi. Kemudian para ulama-ulama mutaqqadammin
memperluas arti nasikh hingga mencakup:
1. Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh
hukum yang ditetapkan
2. Pengecualaian hukum yang bersifat umum
oleh hukum yang spesifik yang datang.
3. Penjelasan susulan terhadap hukum yang
bersifat ambigius
4. Penetapan syarat bagi hukum yang datang
kemudian guna membatalkan atau merebut atau meyatakan berakhirnya masa
berlakunya hukum terdahulu.
B. PERBEDAAN NASIKH, TAKHSISH, DAN BADA’
Terdapat
perbedaan diametral, antara Ibnu Katsir, Al-Maraghi,dan Abu Muslim Al-Ashfahani
dalam memandang persoalan nasikh. Ibnu Katsir dan Al-Maraghi memandang tiga hal
yang merupakan sebagai nasikh,
sedangkan Al-Ashfahani memandang tiga hal tersebut sebagai takhsish. Al-Ashfahani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada
nasikh dalam Al-Quran. Walau pun di dalam Al-Quran terdapat cakupan hukum yang
bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pengkhususan
(takhsish). Dengan demikian takshish, menurutnya dapat diartikan
sebagai “mengeluarkan sebagian satuan (afrad)
dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafazh’aam.
Bertolak
dari pengertian nasikh dan takhshish tersebut di atas, maka salah
satu perbedaan prinsipil antara keduanya
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Nasikh adalah
menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
Sedangkan Takhsish merupakan hukum
dari sebagian satu yang tercakup dalam adil’amm.
Adapun
pengertian bada’ menurut
sumber-sumber kamus yang masyhur, adalah azh-zhuhur
ba’da al-khafa’ (menampakan setelah tersembunyi). Definisi ini tersirat
dalam firman Allah surat Al-jatsiyyah
(45) ayat 333.
“Dan tanyalah bagi mereka keburukan-keburukan
apa yang telah mereka kerjakan.”
Pada
arti lainnya bada’ adalah nasy’ah ra’yin jadid lam yakumaujud
(munculnya pemikiran baru sebelumnya tidak terlintas). Definisi ini tersirat
pada firman Allah (Q.S. Yusuf {18}:35)
Dari
kedua definisi tersebut dapat perbedaan yang jelas dengan hakikat nasikh. Dalam bada’ timbulnya hukum baru disebabkan ketidaktahuan sang pembuat
hukum tentang kemungkinan munculnya hukum baru tersebut. Ini tentu berada
dengan nasikh, sebab dalam nasikh, bagi ulama yang mengakui keberadaannya, Allah mengetahui
nasikh dan munsukh sejak zaman azali, sebelum hukum-hukum itu diturunkan pada
manusia.
C. DASAR-DASAR PENETAPAN NASIKH DAN MANSUKH
Manna’
Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatau ayat dikatakan
nasikh (menghapus), dan ayat lain dikatakan mansukh(dihapus), ketiga dasar
tersebut adalah:
1. Melalui pentransmisian yang jelas (an-naq ash-sharih) dari nabi dan para
sahabatnya, seperti hadis yang berbunyi kata nahaitukum ‘an ziyarat al-qubur
ala fazuruha (aku dulu melarang kalian untuk berziarah kubur, (sekarang)
berziarahlah. Juga seperti ungkapan Anas berkaitan dengan ashab sunur Ma’umah, Wa nuzilah fihim quran qara’nah hata rufi’a
(untuk mereka telah turun ayat sampai akhirnya dihapus)
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat ini mansukh.
3. Melalui studi sejarah, ayat mana yang
lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh,
dan ayat mana yang lebih dulu turun, sehingga disebut mansukh.
Al-Qaththan
menambahkan bahwa nasikh tidak dapat
ditetapkan melalui prosedur ijtihad atau pendapatan ahli tafsir karena adanya
kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakangnya
keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.
D. PERPENDAAN PENDAPAT TENTANG ADANYA
AYAT-AYAT MANSUKH DALAM Al-QURAN
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, terapat perbedaan dikalangan ulama tentang eksistensi
nasikh dalam Al-Quran. Mayoritas
ulama mengakui keberadaan nasikh
dalam Al-Quran. Sementara itu Abu Muslim Al-Ashfahani menolak keberadaannya.
Gagasan lain mendasari mayoritas ulama tentang teori nasikh adalah penerapan perintah-perintah tertentu kepada kaum
muslimin di dalam Al-Quran yang haya bersifat sementara, dan bahwa tatkala
keadaan telah berubah, perintah tersebut dihapus dan diganti dengan perintah
baru lainnya. Namun, karena perintah-perintah itu Kalam Allah, ia harus dibaca
sebagai bagian dari Al-Quran.
E. BENTUK DAN JENIS NASIKH DALAM AL-QURAN
Berdasarkan kejelasan dan kecakupannya, nasikh dalam Al-Quran dibagi menjadi
empat macam, yaitu:
1. Nasik
sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus
hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Umpamanya ayat tentang perang (qital) pada surat Al-Anfal {8}:ayat 65
yang mengharuskan satu orang muslim melawan 10 kafir.
2. Naskih
dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang
saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Keduanya turun untuk sebuah
masalah yang sama, dan diketahui waktu turunnya, maka ayat yang datang kemudian
menghapus ayat yang terdahulu.
3. Nasikh
Kully, yaitu penghapusan hukum sebelumnya
secara keselurhan.
4. Nasikh
Juz’iy, yaitu penghapusan hukum umum yang
berlaku bagi semua individu dengan hukum yang haya berlaku bagi sebagian
individu, atau penghapusan hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad.
Dilihat
dari segi bacaannya dan hukumnya, mayoritas ulama membagi nasikh kepada tiga
macam, yaitu:
1. Penghapusan terhadap hukum dan bacaan
secara bersama ayat-ayat yang tergolong kategori ini tidak dibenarkan dibaca
dan tidak benar diamalkan.
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan
bacaannya tetap ada. Contohnya, ajakan para penyembah berhala dari kalangan
musrikin pada umat islam untuk saling bergantian dalam beribadah.
3. Penghapusan terhadap bacaannya saja,
sedangkan hukumnya tetap berlaku.
Adapun
dari sisi otoritas yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi nasikh ke dalam empat macam:
1. Nasikh Al-Quran dengan Al-Quran.
2. Nasikh Al-Quran denga As-Sunah.
3. Nasikh As-Sunah dengan Al-Quran.
4. Nasikh As-Sunah dengan As-sunah.
F. HIKMAH KEBERADAAN NASIKH
Menurut
Manna’ Al-Qaththan, ada empat hikmah keberadaan ketentuan nasikh, yaitu:
1. Menjaga kemaslahatan hamba.
2. Mengembangkan pensyariatan hukum sampai
pada tingkat ke sempurnaan, seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi
manusia itu sendiri.
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang
kemudian dihapus.
4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi
umat. Apabila ketentuan nasikh lebih
berat daripada ketentuan mansukh,
berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya jika ketentuan
dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi
umat.