AGUNAN DALAM PEMBIAYAAN MUDHARABAH PERSPEKTIF ULAMA SYAFI’IYAH (STUDI KASUS BMT ASSYAFI’IYAH KANTOR CABANG KOTA METRO)

Biografi Imam Syafi'i

Imam Syafi’i (150-204 H/769-820 M) Imam Syafi’i yang dikenal sebagai pendiri mazhab Syafi’i adalah: Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah, pada tahun 150 H, bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam satu keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri, apalagi malas. Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari hadis dari ulama-ulama hadis yang banyak terdapat di Makkah. Pada usianya yang masih kecil, beliau juga telah hafal Al-Qur’an. Pada usianya yang ke-20, beliau meninggalkan Makkah mempelajari ilmu fiqh dari Imam Malik. Merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, beliau kemudian pergi ke Iraq, sekali lagi mempelajari fiqh, dari murid Imam Abu Hanifah yang masih ada. Dalam perantauannya tersebut, beliau juga sempat mengunjungi persia, dan beberapa tempat lain. Setelah wafat Imam Malik (179 H), beliau kemudian pergi Yaman, menetap dan mengajarkan ilmu di sana, bersama Harun Al-Rasyid, yang telah mendengar tentang kehebatan beliau, kemudian meminta beliau untuk datang ke Baghdad. Imam Syafi’i memenuhi undangan tersebut. Sejak saat itu beliau dikenal secara lebih luas, dan banyak orang belajar kepadanya. Pada waktu itulah mazhab beliau mulai dikenal. Tak lama setelah itu, imam Syafi;i kembali ke Makkah dan mengajar rombongan jama’ah haji yang datang dari berbagai penjuru. Melalui ereka inilah, mazhab Syafi;i menjadi tersebar luas ke penjuru dunia. Pada tahun 198 H, beliau pergi ke negeri Mesir. Beliau mengajar di masjid Amru bin As. Beliau juga menulis kitab Al-Umm, Amalai Kubra, kitab Risalah, Ushul Al-Fiqh, dan memperkenalkan Waul Jadid sebagai mazhab baru. Adapun dalam penyusunan kitab Ushul Fiqh, Imam Syafi’i dikenal sebagai orang pertama yang mempelopori penulisan dalam bidang tersebut. Di Mesir inilah akhirnya Imam Syafi’i wafat, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak orang. Kitab-kitab beliau hingga kini masih dibaca orang, dan makam beliau di Mesir sampai detik ini masih ramai diziarahi orang. Sedang murid-murid beliau yang terkenal, diantaranya adalah: Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Muzani, Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al-Buwaiti dan lain sebagainya. sumber: Muhammad Jawab Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab Edisi Lengkap,(Jakarta: Lentera, 2001)

Produksi Dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Setiap kegiatan yang dilakukan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, dinamakan kegiatan ekonomi. Bagaimanakah pola perilaku konsumen dan produsen dalam kegiatan ekonomi? Untuk mengetahui pola perilaku konsumen dan produsen kita perlu memerhatikan semua kegiatan ekonomi masyarakat. Kegiatan ekonomi masyarakat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: produksi, konsumsi dan distribusi.


1.2        Rumusan Masalah
a.       Bagaimana melakukan kegiatan produksi yang sesuai dengan etika Islam?
b.      Apa saja etika dalam melakukan kegiatan konsumsi?
c.       Bagaimana etika dalam melakukan kegiatan distribusi?


1.3        Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
a.       Mengetahui etika etika produksi dalam Islam.
b.      Mengetahui etka dalam melakukan kegiatan konsumsi.
c.       Mengetahui etika dalam melakukan kegiatan distribusi.








BAB II
PEMBAHASAN


2.1    Produksi Dalam Islam
Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi dan Allah telah menundukkan semesta ini untuk kepentingan manusia.[1] Sebagai khalifah adalah menjadi kewajiba manusia untuk membangun dunia ini dan untuk mengeksploitasi sumber-sumber alamnya dengan cara yang adil dan sebaik-baiknya. Ekonomi Islam sangat mendorong produktifitas dan mengembangkannya baik kualitas maupun kuantitas. Islam melarang menyia-nyiakan potensi material maupun potensi sumber daya manusia. Bahkan Islam mengerahkan semua itu untuk kepentingan produksi.  Di dalam ekonomi Islam kegiatan produksi menjadi sesuatu istimewa sebab di dalamnya terdapat factor itqan (profesionalitas) yang dicintai Allah dan ihsan yang diwajibkan Allah atas segala sesuatu.[2]
Menurut Dr. Muhammad Rawwas Qalahji kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-Intaj yang secara harfiah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewjudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir alintaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan penggabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas).
Produksi menurut Kahf mendefenisikan kegiatan produksi dalam prespektif Islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama Islam, yaitu kebahagian di dunia dan akhirat.[3]
Dari dua pengertian di atas produksi adalah setiap bentuk aktivitas yang dilakukan manusia dengan cara mengeksplorasi sumber-sumber ekonomi yang disediakan Allah Swt untuk mewujudkan suatu barang dan jasa yang digunakan tidak hanya untuk kebutuhan fisik tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan non fisik, dalam artian yang lain produksi dimaksudkan untuk mencapai maslahah bukan hanya menciptakan materi.
Produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan juga peradaban manusia dan bumi. Sesungguhnya produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam. Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Untuk menghasilkan barang dan jasa kegiatan produksi  melibatkan banyak faktor produksi.[4]

Prinsip-Prinsip Produksi
Beberapa prinsip yang diperhatikan dalam produksi, antara lain dikemukakan Muhammad al-Mubarak, sebagai berikut:
·         Dilarang memproduksi dan memperdagangkan komoditas yang tercela karena bertentangan dengan syariah.
·         Dilarang melakukan kegiatan produksi yang mengarah kepada kedzaliman.
·         Larangan melakukan ikhtikar (penimbunan barang).
·         Memelihara lingkungan

Ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang Prinsip Produksi
Salah satu ayat tentang produksi yaitu ayat yang berkaitan dengan faktor produksi tanah dalam Surat As-Sajdah: 2
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwasanya kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanaman yang daripadanya makan hewan ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?
Ayat di atas menjelaskan tentang tanah yang  berfungsi sebagai penyerap air hujan dan akhirnya tumbuh tanaman-tanaman yang terdiri dari beragam jenis. Tanaman itu dapat dimanfaatkan manusia sebagai faktor produksi alam, dari tanaman tersebut juga dikonsumsi oleh hewan ternak  yang pada akhirnya juga hewan ternak tersebut diambil manfaatnya (diproduksi) dengan berbgai bentuk seperti diambil dagingnya, susunya dan lain sebagaiya yang ada pada hewan ternak tersebut.
 Ayat ini juga memberikan kepada kita untuk berfikir dalam pemanfaatan sumber daya alam  dan proses terjadinya hujan. Jelas sekali menunjukkan adanya suatu siklus produksi dari proses turunnya hujan, tumbuh tanaman, menghasilkan dedunan dan buah-buahan yang segar setelah di disiram dengan air hujan dan pada akhirnya diakan oleh manusia dan hewan untuk konsumsi. Siklus rantai makanan yang berkesinambungan agaknya telah dijelskan secara baik dalam ayat ini. Tentunya pula harus disertai dengan prinsip efisiensi dalam memanfaatkan seluruh batas kemungkinan produksinya. Sedangkan di dalam hadis, salah satunya sebagai berikut:
HR Bukhari – Nabi mengatakan, “Seseorang yang mempunyai sebidang tanah harus menggarap tanahnya sendiri, dan jangan membiarkannya. Jika tidak digarap, dia harus memberikannya kepada orang lain untuk mengerjakannya. Tetapi bila kedua-duanya tidak dia lakukan – tidak digarap, tidak pula diberikan kepada orang lain untuk mengerjakannya – maka hendaknya dipelihara/dijaga sendiri. Namun kami tidak menyukai hal ini.”[5]
Hadits tersebut memberikan penjelasan tentang pemanfaatan faktor produksi berupa tanah yang merupakan faktor penting dalam produksi. Tanah yang dibiarkan begitu saja tanpa diolah dan dimanfaatkan tidak disukai oleh Nabi Muhammad SAW karena tidak bermanfaat bagi sekelilingnya. Hendaklah tanah itu digarap untuk dapat ditanami tumbuhan dan tanaman yang dapat dipetik hasilnya ketika panen dan untuk pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan, penggarapan bisa dilakukan oleh yang punya tanah atau diserahkan kepada orang lain.



Tujuan Produksi
Kegiatan produksi dilakukan untuk memenuhi kecukupan dari rizki yang baik-baik dalam bentuk barang dan jasa. Produksi dapat merealisasi kehidupan yang baik yang menjadi tujuan Islam bagi manusia. Tujuan produksi ialah mencapai dua hal pokok pada tingkat pribadi muslim dan umat Islam. Pada tingkat pribadi muslim, tujuannya adalah merealisasi pemenuhan kebutuhan baginya, sedangkan pada tingkat umat Islam ialah merealisasikan kemandirian umat.[6] Menurut Nejatullah ash-Shiddiqi, tujuan produksi sebagai berikut:
1.      Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan individu secara wajar.
2.      Pemenuhan kebutuhan keluarga.
3.      Bekal untuk generasi mendatang.
4.      Bantuan kepada masyarakat dalam rangka beribadah kepada Allah.

Faktor-Faktor Produksi
·         Alam, dalam hal ini tanah dan segala potensi ekonomi dianjurkan al-Qur’an untuk diolah dan tidak dapat dipisahkan dari proses produksi.
·         Tenaga kerja terkait langsung dengan tuntutan hak milik melalui produksi.
·         Modal, manajemen dan tekhnologi dan keahlian.
Di kalangan para ekonomi Muslim, belum ada kesepakatan tentang faktor-faktor produksi, karena terdapat perbedaan pendapat dari para ulama. Menurut Al-Maududi dan Abu-Su’ud, faktor produksi terdiri atas amal/kerja (labor), tanah (land), dan modal (capital). Uraian ini berbeda dengan M.A. Mannan yang menyatakan bahwa faktor produksi hanya berupa amal/kerja dan tanah. Menurutnya capital (modal) bukanlah merupakan faktor produksi yang independen, karena capital (modal) bukanlah merupakan faktor dasar. Menurut An-Najjar, faktor produksi hanya terdiri dari dua elemen, yaitu amal (labor) dan capital. Abu Sulaiman menyatakan, amal bukanlah merupakan faktor produksi. Dalam syariah Islam, dasar hukum transaksi (muamalah) adalah ibahah (diperbolehkan) sepanjang tidak ditemukannya larangan dalam nash atau dalil.[7]



Etika dalam Produksi
Etika dalam berproduksi yaitu sebagai berikut:
1.      Peringatan Allah akan kekayaan alam.
2.      Berproduksi dalam lingkaran yang halal. Sendi utamanya dalam berproduksi adalah bekerja, berusaha bahkan dalam proses yang memproduk barang dan jasa yang toyyib, termasuk dalam menentukan target yang harus dihasilkan dalam berproduksi.
3.      Etika mengelola sumber daya alam dalam berproduksi dimaknai sebagai proses menciptakan kekayaan dengan memanfaatkan sumber daya alam harus bersandarkan visi penciptaan alam ini dan seiring dengan visi penciptaan manusia yaitu sebagai rahmat bagi seluruh alam.
4.      Etika dalam berproduksi memanfaatkan kekayaan alam juga sangat tergantung dari nilai-nilai sikap manusia, nilai pengetahuan, dan keterampilan. Dan bekerja sebagai sendi utama produksi yang harus dilandasi dengan ilmu dan syari’ah Islam.
5.      Khalifah di muka bumi tidak hanya berdasarkan pada aktivitas menghasilkan daya guna suatu barang saja melainkan bekerja dilakukan dengan motif kemaslahatan untuk mencari keridhaan Allah Swt.


2.2    Konsumsi Dalam Islam
Konsumsi  berperan sebagai pilar dalam kegiatan ekonomi seseorang (individu), perusahaan maupun negara. konsumsi secara umum diformulasikan dengan: ”Pemakaian dan penggunaan barang – barang dan jasa, seperti pakaian, makanan, minuman, rumah, peralatan rumah tangga, kenderaan, alat-alat hiburan, media cetak dan elektronik, jasa telephon, jasa konsultasi hukum, belajar/ kursus, dsb”.[8]
Berangkat dari pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa konsumsi sebenarnya tidak identik dengan makan dan minum dalam istilah teknis sehari-hari, akan tetapi juga meliputi pemanfaatan atau pendayagunaan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia. Namun, karena yang paling penting dan umum dikenal masyarakat luas tentang aktivitas konsumsi adalah makan dan minum, maka tidaklah mengherankan jika konsumsi sering diidentikkan dengan makan dan minum.

Tujuan Konsumsi
Tujuan konsumsi dalam Islam adalah untuk mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi ialah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan (akal). Kemaslahatan akhirat ialah terlaksanaya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya, manusia makan dan minum agar bisa beribadah kepada Allah. Manusia berpakaian untuk menutup aurat agar bisa shalat, haji, bergaul sosial dan terhindar dari perbuatan yang dilarang.

Etika Konsumsi
Etika konsumsi menurut Naqvi adalah sebagai berikut:
a.       Tauhid (Unity/ Kesatuan)
Karakteristik utama dan pokok dalam Islam adalah “tauhid” yang menurut Qardhawi dibagi menjadi dua kriteria, yaitu tujuan dan sudut pandang. Kriteria pertama menunjukkan maksud bahwa tujuan akhir dan sasaran Islam adalah menjaga hubungan baik dan mencapai ridha-Nya. Sehingga pengabdian kepada Allah merupakan tujuan akhir, sasaran, puncak cita-cita, usaha dan kerja keras manusia dalam kehidupan yang fana ini. Kriteria kedua adalah sumber hukum dan  sistem.[9] Kriteria ini merupakan suatu sistem yang ditetapkan untuk mencapai sasaran dan tujuan puncak (kriteria pertama) yang bersumber al-Qur’an dan Hadits Rasul.



b.      Adil (Equilibrium/ Keadilan)
Khursid Ahmad mengatakan, kata ‘adl dapat diartikan seimbang (balance). Atas sebab dasar itu ia menyebutkan konsep al-‘adl dalam prespektif Islam adalah keadilan Ilahi. Salah satu manifestasi keadilan menurut al-Qur’an adalah kesejahteraan. Keadilan akan mengantarkan manusia kepada ketaqwaan, dan ketaqwaan akan menghasilkan kesejahteraan bagi manusia itu sendiri.

c.       Free Will (Kehendak Bebas)
Manusia diberikan kehendak bebas untuk mengendalikan kehidupannya sendiri manakala Allah menurunkannya ke bumi.[10] Manusia merupakan makhluk yang berkehendak bebas namun kebebasan ini tidaklah berarti bahwa manusia terlepas dari qadha dan qadar yang merupakan hukum sebab-akibat yang didasarkan pada pengetahuan dan kehendak Tuhan.

d.      Amanah (Responsibility/ Pertanggungjawaban)
Etika dari kehendak bebas adalah pertanggungjawaban. Dengan kata lain, setelah manusia melakukan perbuatan maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.[11] Dengan demikian prinsip tanggung jawab merupakan suatu hubungan logis dengan adanya prinsip kehendak bebas.

e.       Halal
Kehalalan adalah salah satu kendala untuk memperoleh maksimalisasi kegunaan konsumsi salam kerangka Ekonomi Islam. Kehalalan suatu barang konsumsi merupakan antisipasi dari adanya keburukan yang ditimbulkan oleh barang tersebut.

f.       Sederhana
Sederhana dalam konsumsi mempunyai arti jalan tengah dalam berkomunikasi. Diantara dua cara hidup yang ekstrim antara paham materilialistis dan zuhud. Ajaran al-Qur’an menegaskan bahwa dalam berkonsumsi manusia dianjurkan untuk tidak boros dan tidak kikir.

2.3    Distribusi dalam Islam
System ekonomi yang berbasis Islam menghandaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan keadilan kepemilikan. Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang di bingkai oleh nilai-nilai agama. Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam al-qur’an agar supaya harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.[12]

 Urgensi dan Tujuan Distribusi
Islam sangat mendukung pertukaran barang dan menganggapnya produktif dan mendukung para pedangang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian dari karunia Allah, dan membolehkan orang memiliki modal untuk berdagang, tetapi ia tetap berusaha agar pertukaran barang itu berjalan atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
·         Tetap mengumpulkan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
·         Antara dua penyelenggara muamalat tetap ada keadilan dan harus tetap ada kebebasan ijab kabul dalam akad-akad.
·         Tetap berpengaruhnya rasa cinta dan lemah lembut.
·         Jelas dan jauh dari perselisihan.

Tujuan Distribusi dalam Ekonomi Islam
·         Tujuan Dakwah, yakni dakwah kepada Islam dan menyatukan hati kepadanya.
·         Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan dalam distribusi adalah seperti dalam surah at-Taubah ayat 103.
·         Tujuan sosial, yakni memenuhi kebutuhan masyarakat serta keadilan dalam distribusi sehingga tidak terjadi kerusuhan dan perkelahian.
·         Tujuan Ekonomi, yakni pengembangan harta dan pembersihannya, memberdayakan SDM, kesejahteraan ekonomi dan penggunaan terbaik dalam menempatkan sesuatu.

Etika Distribusi
a.       Selalu menghiasi amal dengan niat ibadah dan ikhlas.
b.      Transfaran, dan barangnya halal serta tidak membahayakan.
c.       Adil, dan tidak mengerjakan hal-hal yang dilarang di dalam Islam.
d.      Tolong menolong, toleransi dan sedekah.
e.       Tidak melakukan pameran barang yang menimbulkan persepsi.
f.       Tidak pernah lalai ibadah karena kegiatan distribusi.
g.      Larangan Ikhtikar, ikhtikar dilarang karena akan menyebabkan kenaikan harga.
h.      Mencari keuntungan yang wajar. Maksudnya kita dilarang mencari keuntungan yang semaksimal mugkin yang biasanya hanya mementingkan pribadi sendiri tanpa memikirkan orang lain.
i.        Distribusi kekayaan yang meluas, Islam mencegah penumpukan kekayaan pada kelompok kecil dan menganjurkan distribusi kekayaan kepada seluruh lapisan masyarakat.
j.        Kesamaan Sosial, maksudnya dalam pendistribusian tidak ada diskriminasi atau berkasta-kasta, semuanya sama dalam mendapatkan ekonomi.

BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Dengan penjelasan di atas bahwa semua kegiatan baik produksi, konsumsi dan distribusi harus sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yaitu prinsip tauhid, prinsip keadilan, prinsip kebebasan dan prinsip pertanggungjawaban. Manusia dalam berproduksi, konsumsi dan distribusi harus sesuai dengan etika Islam yang menjadikan kemakmuran dan ketentraman dalam bermasyarakat.
Etika dalam berproduksi yaitu sebagai berikut:
a.       Peringatan Allah akan kekayaan alam.
b.      Berproduksi dalam lingkaran yang halal.
c.       Etika dalam mengelola sumber daya alam.
d.      Etika dalam berproduksi harus dilandasi dengan ilmu dan syari’ah Islam.
e.       Sebagai Khalifah di muka.

Etika Konsumsi menurut Islam, antara lain:
a.       Tauhid (Unity/ Kesatuan)
b.      Adil (Equilibrium/ Keadilan)
c.       Free Will (Kehendak Bebas)
d.      Amanah (Responsibility/ Pertanggungjawaban)
e.       Halal
f.       Sederhana

Etika Distribusi menurut Islam, antara lain:
a.       Larangan Ikhtikar.
b.      Mencari keuntungan yang wajar.
c.       Distribusi kekayaan yang meluas.
d.      Kesamaan Sosial.




DAFTAR PUSTAKA

Qardhawi Yusuf, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,  2001, Jakarta: Robbani Press
Karim Adiwarman,  Ekonomi Mikro Islami, 2007, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Issa Beekum Rafik, Etika Bisnis Islam, 1997, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Ahmad Mustaq, Etika Bisnis dalam Islam, 2003, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar
http://santridrajat.blogspot.com/2013/03/produksi-konsumsi-dan.html




[1] Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 7
[2] Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2001), hlm. 180
[4] Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.102
[6] Yusuf Qardhawi, op.cit, hlm. 180
[7] http://ikhwanuna1.blogspot.com/2013/02/produksi-dalam-perspektif-islam.html

[8] http://santridrajat.blogspot.com/2013/03/produksi-konsumsi-dan.html

[9] ibid
[10] Rafik Issa Beekum, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta : Pustaka belajar, 1997), hlm.38
[11] ibid